
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Poster pengumuman larangan menjual rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun dan perempuan hamil dipasang di salah satu gerai minimarket di Jakarta, Selasa (3/11). Larangan menjual rokok kepada anak di bawah umur masih belum efektif karena mereka masih bisa membeli rokok.
JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa hari belakangan publik dihebohkan dengan kabar yang menyebutkan kenaikan cukai rokok membuat harga rokok bakal naik sampai Rp 50.000 per bungkus. Bak bola liar, isu tersebut menggelinding cepat, dan memunculkan kontroversi.
Ada yang setuju dengan kenaikan cukai rokok, lantaran dengan begitu ada potensi bertambahnya penerimaan negara. Namun ada juga yang menolak, dengan dalih industri rokok bakal terpukul, dan akan terjadi banyak pemutusan hubungan kerja berujung pengangguran. Kenaikan harga rokok juga dikhawatirkan membuat makin banyak masyarakat masuk kategori miskin, karena garis kemiskinan naik. Lebih daripada itu, beragam alasan non-ekonomi juga seliweran di ruang publik.
Sebenarnya, seberapa besar harapan pemerintah pada barang konsumsi adiktif satu ini terhadap penerimaan?
Dengan hanya melihat dari segi penerimaan cukai, rokok atau yang dalam istilah cukai disebut hasil tembakau memang memegang peran mayoritas.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017, pendapatan cukai 2017 ditargetkan sebesar Rp 157,15 triliun. Dari target pendapatan cukai total itu, sebanyak Rp 149,87 triliun diantaranya ditopang dari pendapatan cukai hasil tembakau. Adapun sisanya berasal dari cukai Ethyl Alkohol (Rp150 miliar), cukai Minuman Mengandung Ethyl Alkohol (MMEA) (Rp 5,53 triliun), dan pendapatan cukai lainnya (Rp1,6 triliun).
Jika dibandingkan dengan target APBNP tahun 2016, target pendapatan cukai dalam RAPBN tahun 2017 itu meningkat sebesar 6,1 persen. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan pendapatan cukai hasil tembakau sebesar 5,8 persen. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017, dikutip Senin (22/8/2016) dijelaskan, penentuan target pendapatan cukai diarahkan untuk mengendalikan konsumsi barang kena cukai melalui penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dan tarif cukai EA-MMEA. Dalam RAPBN tahun 2017, juga akan dilanjutkan upaya mengenakan tarif cukai atas barang kena cukai baru yang diperkirakan memiliki negative externality (merugikan orang banyak).
Kompas TV Wacana Kenaikan Harga Rokok
Dari kabar yang beredar kalo harga rokok bakal di naikin sama pemerintah pendapat gue sendiri kurang setuju karena gue kasian sama rakyat-rakyat kecil yang kurang mampu seperti buruh, supir angkot, pedagang, pemulung, dll mereka semua kan pada menggunakan rokok dan kalo harga rokok naik mereka semua jadi tidak mampu untuk beli rokok, memang sih niat pemerintah baik menaikkan harga rokok untuk mengurangi angka perokok di indonesia terutama untuk anak-anak di bawah umur, tetapi cara yang dilakukan oleh pemerintah itu kurang efektif, padahal rokok juga kan merupakan penghasilan negara yang lumayan besar juga diambil dari pajak cukai rokok itu sendiri.
Jadi kesimpulan nya jika pemerintah ingin mengurangi angka perokok terutama untuk anak di bawah usia 18 tahun, kalo menurut saya lebih baik pemerintah jangan menaikkan harga rokok, lebih baik pemerintah membuat undang-undang larangan keras untuk anak yang berusia di bawah 18 tahun yang merokok, kalo ada anak kecil atau pelajar yang ketahuan merokok langsung ditangkap saja dan di berikan sanksi, jika dua sampe tiga kali tetap ketahuan masih merokok langsung di penjara kan saja karena memang sudah dibuat undang-undang larangan keras merokok untuk anak usia di bawah 18 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar